Tugas Softskill
“Hukum Perikatan, Hukum Perjanjian &
Hukum Dagang”
Nama : Fanny Dwi Risanti
NPM : 23213210
Kelas : 2EB24
Universitas Gunadarma
ATA 2014/2015
BAB IV
Hukum Perikatan
1.1 Definisi Hukum Perikatan
Istilah
perikatan dalam bahasa Belanda ialah verbinteni.
banyak para tokoh mengemukakan pendapat tentang definisi perikatan tetapi
dari keseluruhannya dapat disimpulkan bahwa perikatan merupakan hubungan hukum
yang artinya hubungan yang di atur dan di akui oleh hukum, baik yang dapat
dinilai dengan uang maupun tidak, yang di dalamnya terdapat paling sedikit
adanya terdapat satu dan kewajiban, misalnya suatu perjanjian pada dasarnya
menimbulkan atau melahirkan satu atau beberapa perikatan, keadaan ini tentu
tergantung pada jenis perjanjian yang diadakan, demikian juga halnya suatu
perikatan dapat saja dilahirkan karena adanya ketentuan undang-undang, dalam
arti, undang-udanglah yang menegaskan, di mana dengan terjadinya suatu
peristiwa atau perbuatan telah melahirkan perikatan atau hubungan hukum,
misalnya, dengan adanya perbuatan melanggar hukum.
Intinnya kalau
dikaitkan dengan ekonomi perikatan adalah suatu hubungan hukum antara dua
pihak, di mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu dan pihak yang lain, dan
pihak yang lain berkewajiban memenuhi tuntutan tersebut. Dalam hal ini, dapat
disebutkan, bahwa pihak yang menuntut disebut kreditur (pihak berpiutang) dan
pihak yang berkewajiban untuk memenuhi prestasi disebut debitur (pihak berutang).
Keadaan tersebut juga dapat diartikan, bahwa adanya suatu hak dan kewajiban
yang harus dilakukan kreditur dan debitur tergantung dan yang diperjanjikan, di
mana hak dan kewajiban kreditur dimaksudkan harus diatur oleh undang-undang,
yaitu sebagai suatu tindakan untuk melakukan tuntutan terhadap pihak yang lalai
dalam melaksanakan suatu prestasi atau kewajibannya. Di dalam ruang linkup ekonomi, contoh dari
perikatan yakni hubungan antara debitur dan para krediturnya dalam hal pinjam
meminjam.
Dalam hukum hutang-piutang, pihak yang berhutang disebut
debitur, sedangkan pihak yang berhutang disebut kreditur. Dalam hubungan jual
beli, pihak pembeli berposisi sebagai debitur, sedangkan penjual berposisi
sebagai kreditur. Dalam perjanjian hibah, Pemberi hibah disebut debitur,
sedangkan penerima hibah disebut kreditur. Dalam perjanjian kerja, pihak yang
melakukan pekerjaan disebut kreditur, sedangkan pihak yang berkewajiban
membayar upah disebut debitur.
Dari uraian yang
telah dikemukakan, pada akhirnya perlu juga dipahami tentang rumusan hukum
perikatan, maka dengan melihat beberapa pengertian dan kasus yang telah
dikemukakan, dapat dikatakan bahwa hukum perikatan, pada dasarnya merupakan
“kesemuanya kaidah hukum atau aturan hukum yang mengatur hak dan kewajiban
seseorang yang bersumber pada tindakannya, baik dalam lingkungan hukum kekayaan
yang dapat dinilai dengan uang maupun tidak dapat dinilai dengan uang.
![]() |
1.2 Pengaturan Hukum Perikatan
Hukum Perikatan yang dimaksudkan
ialah keseluruhan peraturan hukum yang mengatur tentang perikatan. Pengaturan
tersebut meliputi bagian umum dan bagian khusus. Bagian umum membuat
peraturan-peraturan yang berlaku bagi perikatan pada umumnya. Sedangkan bagian
khusus memuat peraturan-peraturan mengenai perjanjian-perjanjian bernama yang
banyak dipakai dalam masyarakat. Bagian umum meliputi bab babI, bab II bab III
(hanya pasal 1352 dan 1353) da bab IV, yang berlaku bagi perikatan pada
umumnya. Bagian khusus meliputi bab III (kecuali pasal 1352 dan pasal 1353) dan
babV s/d XVIII, yang berlaku bagi perjanjian-perjanjian tertentu saja, yang
sudah ditentukan namanya dalam bab-bab yang bersangkutan. Pengaturan hukum
perikatan dilakukan dengan "sistem terbuka", artinya setiap orang
boleh mengadakan perikatan apa saja baik yang belum ditentukan namanya dalam
undang-undang. tetapi keterbukaan ini dibatasi oleh tiga hal, yaitu tidak
dilarang oleh undang-undang, tidak bertentangan dengan kesusilaan , dan tidak
bertentangan dengan ketertiban umum.
1.3 Prestasi dan Wanprestasi
Prestasi atau wanprestasi tergantung pada seseorang yang
terlibat dalam dipenuhi tidaknya perjanjian yang tertera disuatu perikatan.
Berikut adalah penjelasan lebih lanjutnya.
Prestasi adalah yang wajib
dipenuhi oleh debitur dalam setiap perikatan.
1.3.1 Prestasi
Prestasi adalah objek perikatan. Dalam hukum perdata
kewajiban memenuhi prestasi selalu disertai jaminan harta kekayaan debitur.
Dalam pasal 1131 KUH Perdata dinyatakan bahwa semua harta kekayaan debitur baik
bergerak maupun tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang akan ada,
menjadi jaminan pemenuhan utangnya terhadap kreditur. Tetapi jaminan umum ini
dapat dibatasi dengan jaminan khusus berupa benda tertentu yang ditetapkan
dalam perjanjian antara pihak-pihak. Dalam perikatan yang objeknya
"berbuat sesuatu", debitur wajib melakukan perbuatan tertentu yang
telah ditentukan dalam perikatan, misalnya melakukan perbuatan membongkar
tembok, mengosongkan rumah, membangun gedung. Dalam melakukan perbuatan itu
debitur harus mematuhi semua ketentuan dalam perikatan. Debitur bertanggung
jawab atas perbuatnnya yang tidak sesuai dengan ketentuan perikatan.
Dalam perikatan yang objekbnya "tidak berbuat
sesuatu", debitur tidak melakukan perbuatan yang telah ditetapkan dalam
perikatan, misalnya tisdak melakukan persaingan yang telah diperjanjikan, tidak
membuat tembok yang tingginya yang menghalangi pemandangan tetangganya. Apabila
debitur berlawanan dengan periktan ini, ia bertanggung jawab karena melanggar perjanjian.
Sifat Prestasi
Prestasi adalah objek
perikatan. Supaya objek itu dapat dicapai, dalam arti dipenuhi oleh debitur,
maka perlu diketahui sifat-sifatnya,
yaitu:
1. Harus sudah ditentukan atau
dapat ditentukan. Hal ini memungkinkan debitur memenuhi perikatan. Jika
prestasi itu tidak tertentu atau tidak dapat ditentukan mengakibatkan perikatan
batal (niegtig);
2. Harus mingkin, artinya
artinya prestasi itu dapat dipenuhi oleh debitur secara wajar dengan
segala usahanya, jika tidak demikian
perikatan batal (nietig)
3. Harus diperbolehkan (halal),
artinya tidak dilarang oleh undang-undang, tidak bertentangan dengan
kesusilaan, tidak bertentangan dengan ketertiban umum, Jika prestasi itu tidak
halal, perikatan batal (niegtig).
4. Harus ada manpfaat bagi
kreditur, artinya kreditur dapat menggunakan, menikmati, dan mengambil
hasilnya. Jika tidak demikian, perikatan dapat dibatalkan (verniegtigbaar).
5. Terdiri dari satu perbuatan
atau serentetan perbuatan. Jika prestasi itu berupa satu kali perbuatan
dilakukan lebih dari satu kali dapat mengakibatkan pembatalan perikatan
(vernietigbaar).
1.3.2 Wanprestasi
Wanprestasi artinya tidak memenuhi sesuatu yang
diwajibkan seperti yang telah ditetapkan dalam perikatan. Tidak dipenuhinya
kewajiban oleh debitur disebabkan oleh dua kemungkinan alasan, yaitu:
1. Karena kesalahan debitur,
baik dengan sengaja tidak dipenuhinya kewajiban maupun karena kelalaian.
2. Karena keadaan memaksa
(overmacht), force mejeure, jadi di luar kemampuan debitur. Debitur tidak
bersalah.
Keadaan memaksa (overmacht) ialah keadaan tidak
dipenuhinya prestasi oleh debitur karena peristiwa yang yang tidak dapat
diketahui atau tidak dapat diduga akan terjadi ketika membuat perikatan. Dalam
keadaan memaksa, debitur tidak dapat dipersalahkan, karena keadaan ini timbul
diluar kemauan dan kemampuan debitur. Unsur-unsur keadaan memaksa adalah sebagai
berikut:
a. Tidak dipenuhinya
prestasi karena terjadi
peristiwa yang membinasakan/ memutuskan benda objek
perikatan; atau
b. Tidak dipenuhinya prestasi
karena terjadi peristiwa yang menghalangi perbuatan debitur untuk berprstasi;
c. Peristiwa itu tidak dapat
diketahui atau diduga akan terjadi pada waktu membuat perikatan.
Untuk menentukan apakah seorang debitur bersalah
melakukan wanprestasi, perlu ditentukan dalam keadaan bagaimana debitur
dikatakan sangaja atau lalai tidak memenuhi prestasi. Ada tiga keadaan, yaitu:
1. debitur tidak memenuhi
prestasi sama sekali,
2. debitur memenuhi prestasi,
tetapi tetapi tidak baik atau keliru,
3. debitur memenuhi prestasi,
tetapi tidak tepat waktunya atau terlambat.
Akibat hukum bagi debitur
yang telah melakukan wanprestasi adalah hukuman atau saksi hukum berikut ini:
1. Debitur diwajibkan membayar
ganti kerugian yang telah diderita oleh kreditur (pasal 1243 KUH Perdata)
2. Apabila perikatan itu timbal
balik, kreditur dapat menuntut pemutusan/pembatalan perikatan melalui Hakim
(pasal 1266 KUH Perdata)
3. Dalam perikatan untuk
memberikan sesuatu, resiko berlaih kepada debitur sejak terjadi wanprestasi
(pasal 1237 ayat 2)
4. Debitur diwajibkan memenuhi
perikatan jika masih dapat dilakukan, atau pembatalan disertai pembayaran ganti
kerugian (pasal 1267 KUH Perdata)
5. Debitur wajib membayar biaya
perkara jika diperkarakan di muka Pengadilan Negeri, dan debitur dinyatakan
bersalah
1.3 Jenis-Jenis Perikatan
1). Perikatan bersyarat
Perikatan bersyarat (voorwaardelijk verbintenis) adalah perikatan
yang digantungkan pada syarat. Syarat itu adalah suatu peristiwa yang masih
akan terjadi dan belum pasti terjadinya, baik dengan menangguhkan pelaksanaan
perikatan hingga terjadinya peristiwa, maupun dengan membatalkan perikatan karena terjadi atau tidak
terjadinya peristiwa tersebut (pasal 1253 KUH Perdata). Dari ketentuan pasal
ini dapat dibedakan dua perikatan bersyarat yaitu periktan dengan syarat batal
dan periktan dengan syarat tangguh:
a. Perikatan dengan syarat tangguh
Apabila syarat "peristiwa"
yang diamksudkan dengan itu terjadi, maka perikatan dilaksanakan (pasal 1263
KUHPdt). Jadi, sejak peristiwa itu terjadi, kewajiban dibitur untuk berprestasi
segera dilaksanakan. Misalnya A setuju apabila B adiknya paviliun rumahnya,
setelah B kawin. Kawin adalah peristiwa yang masih akan terjadi dan belum pasti
terjadi. Sifatnya menangguhkan pelaksanaan perikatan. Jika B kawin, maka A
berkewajiban menyerahkan paviliun rumahnya untuk didiami oleh B.
b. Perikatan dengan syarat
batal
Disamping perikatan yang
sudah ada akan berakhir apabila "peristiwa" yang dimaksudkan itu
terjadi (pasal 1265 KUH Perdata). Misalnya A setuju apabila B mendiami rumah
milik A selama ia belajar di luar negeri, dengan syarat bahwa B harus
mengosongkan rumah tersebut apabila A selasai studi dan kembali ke tanah air.
Di sini syarat "selesai dan kembali ke tanah air" masih akan terjadi
dan belum belum pasti terjadi. Tetapi jika syarat tersebut terjadi perjanjian
berakhir dalam arti batal. Hal ini membawa konsekwensi bahwa segala sesuatu
dipulihkan dalam keadaan semula seolah-olah tidak ada perikatan. Dalam contoh
di atas B berkewajiban menyerahkan kembali rumah tersebut kepada A.
2). Perikatan dengan Ketetapan Waktu
Suatu ketetapan waktu tidak menangguhkan perikatan,
melainkan hanya menangguhkan pelaksanaannya. Maksud syarat "Ketetapan
waktu" ialah pelaksanaan perikatan itu digantungkan pada" waktu yang
ditetapkan". Waktu yang
ditetapkanadalah peristiwa yang masih akan terjadi dan terjadinya itu
sudah pasti, atau dapat berupa tanggal yang sudah ditetapkan. Misalnya A berjanji kepada anak perempuannya yang
telah kawin itu untuk memberikan rumahnya, apabila bayi yang sedang
dikandungnya lahir. Disini "kelahiran" adalah peristiwa yang masih akan terjadi dan
terjadinya itu sudah pasti. Tentu saja berdasarkan pemeriksaan dokter, anak itu
lahir hidup. Contoh lain, A berjanji kepada B, bahwa ia akan membayar hutangnya
dengan hasil panen sawahnya yang sedang menguning. Dalam hal ini "hasil
panen yang sedang menguning" sudah pasti, karna dalam waktu dekat A. Akan
panen sawah, sehingga pembayaran hutang sudah pasti.
3). Perikatan manasuka
(boleh pilih)
Dalam Perikatan
Manasuka, objek prestasi ada dua macam benda. Dikatakan perikatan manasuka,
karena debitur telah memenuhi prestasi dengan memilih salah satu dari dua benda
yang dijadikan objek perikatan. Tetapi debitur tidak dapat memaksa kreditur
untuk menerima benda yang satu dan sebagian benda yang lainnya. Jika debitur
telah memenuhi salah satu dari dua benda yang disebutkan dalam perikatan, yang
dibebaskan dan perikatan berakhir. Hak memilih prestasi itu ada pada debitur,
jika hak ini tidak secara tegas diberikan kepada kreditur (pasal 1272 dan 1273
KUH Perdata).
Misalnya, A
memesan barang elektronik berupa stereo tape rekorder pada sebuah toko barang
elektronik dengan harga yang sama yaitu Rp 75.000. Dalam hal ini pedangang
tersebut dapat memilih, menyerahkan strereo tape rekorder. Tetapi jika
diperjanjikan bahwa A yang menentukan pilihan, maka pedagang memberitahukan
kepda A bahwa barang pesanan sudah tiba, silakan A memilih salah satu diantara dua benda objek perikatan itu. JIka A telah memilih dan dan
memerima dari salah satu benda itu, perikatan berakhir.
4). Perikatan Tanggung
Menanggung
Dalam perikatan
tangung menanggung dapat terjadi seseorang debitur berhadapan dengan beberapa
orang kreditur, atau seorang kreditur berdapan dengan beberapa orang debitur.
Apabila kreditur terdiri dari beberapa orang, ini disebut tanggung-menanggung aktif. Dalam hal ini setiap kreditur barhak atas
pemenuhan prestasi seluruh hutang, dan jika prestasi tersebut sudah dipenuhi,
debitur dibebaskan dari hutangnya dan perikatan hapus (pasal 1278 KUH Perdata).
Selain itu dikenal juga dengan tanggung menanggung pasif diantarannya Perikatan
tanggung-menanggung pasif dapat terjadi karena :
a. Wasiat, apabila pewaris
memberikan tugas untuk melaksanakan suatu legaat (hibah wasiat) kepada ahli
warisnya secara tanggung-menanggung;
b. Ketentuan undang-undang,
dalam hal ini undang-undang menetapkan secara tegas perikatan
tanggung-menaggung dalam perjanjian khusus.
5). Perikatan Dapat dan Tidak Dapat Dibagi
Suatu
perikatan dikatakan dapat atau tidak dapat dapat dibagi, apabila benda yang
menjadi objek perikatan dapat atau tidak dapat dibagi menurut timbangan, lagi
pula pembagian itu tidak boleh mengurangi hakikat dari prestasi tersebut. Jadi
sifat dapat atau tidak dapat dibagi itu didasarkan pada :
a. Sifat benda yang menjadi
objek perikatan.
b. Maksud perikatannya, apakah
itu dapat atau tidak dapat dibagi
Perikatan dapat atau tidak dapat dibagi dapat terjadi apabila
salah satu pihak meninggal dunia, sehingga timbul persoalan apakah pemenuhan
prestasi dapat dibagi atau tidak antara para ahli waris almarhum itu. Hal ini
tergantung dari benda yang menjadi objek perikatan yang penyerahan atau
perbuatan pelaksanaannya dapat dibagi atau tidak, baik secara nyata maupun
secara perhitungan (pasal 1296 KUH Perdata). Akibat hukum perikatan dapat atau
tidak dapat dibagi ialah, bahwa dalam perikatan yang tidak dapat dibagi, setiap
kreditur berhak menuntut seluruh prestasi pada setiap debitur, dan setiap debitur wajib memenuhi
prestasi tersebut seluruhnya. Dengan dipenuhi prestasi oleh seorang debitur,
membebaskan debitur lainnya dan perikatan menjadi hapus. Dalam perikatan yang
dapat dibagi setiap kreditur hanya berhak menuntut suatu baguian prestasi
menurut perimbangannya, sedangkan setiap debitur wajib memenuhi prestasi untuk
bagiannya saja menurut perimbangan.
6). Perikatan dengan
Ancaman Hukuman
Perikatan ini membuat suatu ancaman hukuman terhadap
debitur apabila ia lalai memenuhi prestasinnya. Ancaman hukuman ini bermaksud
untuk memberikan suatu kepastian atau pelaksanaan isi perikatan seperti yang
telah ditetapkan dalam perjanjian yang dibuat oleh pihak-pihak. Disamping itu
juga sebagai usaha untuk menetapkan jumlah ganti kerugian jika betul-betul
terjadi wanprestasi. Hukuman itu merupakan suatu dorongan bagi debitur untuk
memenuhi kewajiban berprestasi dan untuk membebaskan kreditur dari pembuktian
tentang besarenya ganti kerugian yang telah dideritanya.
1.4 Hapusnya perikatan
Menurut
ketentuan pasal 1381 KUH Perdata, ada sepuluh caranya hapusnya perikatan yaitu
:
1. Pembayaran
Pembayaran
disini tidak saja meliputi penyerahan sejumlah
uang melainkan juga penyerahan suatu benda. Dengan kata lain perikatan
berakhir karen pembayaran dan peneyerahan benda. Jadi dalam hal objek perikatan
adalah sejumlah uang maka perikatan berakhir dengan pembayaran uang. Dalam hal
perikatan adalah suatu benda, maka perikatan berakhir setelah penyerahan benda.
Dalam hal objek perikatan adalah pebayaran uang dan penyerahan benda secra
timbl balik, perikatan baru berakhir setelah pembayaran dan penyerahan benda.
2. Penawaran pembayaran tunai diikuti penitipan
Apabila debitur telah melakukan penawaran
pembayaran dengan perantara Notaris dan atau jurusita, kemudian kreditur
menolak penawaran tersebut, atas penolakan kreditur itu kemudian debitur
meniptipkan pembayaran itu kepada Panitra pengadilan Negeri setempat untu
disimpan. Dengan demikian perikatan menjadi hapus (pasal1404 KUHpd). Supaya
penawaran pembayaran itu sah, perlu dipenuhi syarat-syarat :
a. Dilakukan kepada kreditur atau kuasanya;
b. Dilakukan oleh debitur yang wenang
membayar;
c. mengenai semua uang pokok, bunga, biaya
yang telah ditetapkan;
d. waktu yang ditetapkan telah tiba;
e. syarat
dengan mana utang dibuat, telah dipenuhi;
f. penawaran pembayaran dilakukan di tempat
yang telah disetujui;
g. penawaran pembayaran
dilakukan oleh Notaris atau Jurusita disertai oleh dua orang sakasi.
3. Pembaharuan hutang
(novasi)
Pembaharuan hutang terjadi dengan jalan
mengganti hutang lama dengan hutang baru, debitur lama dengan debitur baru ,
dan kreditur lama dengan kreditur baru. Dalam hal hutang lama diganti dengan
hutang baru terjadi penggantian objek perjanjian (novasi objek), di sini hutang
lama lenyap. Dalam hal terjadi penggantian orangnya (subjeknya), maka jika
diganti debiturnya, pembaharuan ini disebut "novasi subjek pasif".
Jika yang diganti itu krediturnya, pembahruan itu disebut "novasi subjek
aktif". Dalam hal ini hutang lama
lenyap.
4. Perjumpaan hutang
(kompensasi)
Dikatakan ada perjumpaan hutang apabila hutang piutang
debitur dan krteditur secara timbal balik dilakukan perhitungan. Dengan
perhitunganini hutang piutang lama lenyap. Misalanya A mempunyai hutang Rp
25.000.000,- pada B. Sebaliknya B punya hutang pada A sejumlah Rp 50.000.000,-.
Setelah diperhitungkan, ternyata B masih mempunyai hutang pada A Rp
25.000.000,-. Supaya hutang itu dapat diperjumpakan, perlu dipenuhi
syarat-syarat sebagai berikut:
a. berupa sejumlah uang atau
benda yang dapat dihabiskan;
b. hutang itu harus sudah dapat ditagih;
c. hutang itu seketiga dapat
ditentukan atau d3 dapat diperjumpakan, kecuali dalam hal berikut ini;
─ apabila dituntut
pengembalian suatu benda yang secara melawan hukum dirampas dari pemiliknya,
misalanya dengan pencurian;
─ apabila dituntut
pengambalian barang sesuatu yang
dititipkan atau dipinjamkan;
─ terhadap suatu hutang yang
bersumberkan pada tunjangan nafkah yang telah dinyatakan tidak dapat disita
(pasal 1429 KUH perdata). Selain itu yurisprudensi juga menetapkan bahwa perjumpaan hutang berikut
ini tidak mungkin, yaitu ;
─ hutang-hutang negara berupa
pajak;
─ hutang-hutang yang timbul
dari periktan wajar.
5. Percampuran Hutang
Menurut
ketentuan pasal 1436 KUH Perdata, percampuran hutang itu terjadi apabila
kedudukan kreditur dan debitur itu menjadi satu, artinya berada dalam satu
tangan. percampuran hutang tersebut terjadi dami hukum. Dalam percampuran hutang ini hutang piutang menjadi
lenyap." Percampuran hutang itu terjaadi misalnya A sebagai ahli waris
mempunyai hutang pada B sebagai pewaris. Kemudian B meninggal dunia dan A
menerima warisan termasuk juga hutang atas dirinya sendiri. Dalam hal ini
hutang lenyap demihukum.
6. Pembebasan Hutang
Pembebasan hutang dapat terjadi apabila kreditur dengan tegas
menyatakan tidak menhendaki lagi prestasi dari debitur dan melepaskan haknya
atas pembayaran atau pemenuhan perikatan. Denmgan pembebasan ini perikatan
menjadi lenyap atau hapus. Menurut pasal 1438 KUH Perdata, pembebasan tidak
boleh berdasarkan persangkaan, melainkan haruss dibuktikan. Bukti tersebut
dapat digunakan, misalnya dengan pengembalian surat piutang asli oleh kreditur
kepada debitur secara sukarela (pasal 1439 KUH Perdata).
7. Musnahnya Benda yang
Terhutang
Menurut ketentuan pasal 1444 KUH perdata, apabila benda
tertentu yang menjadi objek perikatan itu musnah, tidak dapat lagi
diperdagangkan, atau hilang, di luar kesalahan debitur dan sebelumnya ia lalai
menyerahkan nya pada waktu yang telah ditentukan, maka perikatannya memnjadi
hapus. Tetapi bagi mereka yang memperoleh benda itu secara tidak sah, misalnya
karena pencurian, mka musnahnya atau hilangnya benda itu tidak membebaskan
debitur (orang yang mencurinya) untuk mengganti harganya. Meskipun debitur
lalai menyerahkan benda itu, ia pun akan bebas dari perikatan itu, apabila ia
dapat membuktikan bahwa hapusnya atau musnahnya benda itu disebabkan oleh suatu
kejadian di luar kekuasaannya dan benda itumjuga akan menemui nasib yang sama,
meskipun sudah berada di tangan kreditur.
8. Karena Pembatalan
Dalam
pasal 1446 KUH Perdata ditegaskan bahwa hanyalah menganai soal pembatalan saja
dan tidak mengenai kebatalannya, karena syarat-syarat untuk batal yang
disebutkan itu adalah syarat-syarat subjektif yang ditentukan dalam pasal 1320 KUH Perdata. Jika
syarat-syarat subjektif tidak dipenuhi, maka perikatan itu tidak batal,
melainkan "dapat dibatalan" (vernitigbaar, voidable).
Perikatan yang tidak memenuhi syarat-syarat subjektif dapat
dimintakan pembatalannya kepada Hakim dengan dua cara yaitu :
a. Dengan cara aktif, yaitu
meneuntut pembatalan kepada Hakim dengan mengajukan gugatan
b. Dengan cara pembelaan, yaitu
menunggu sampai digugat dimuka Hakim untuk memenuhi perikatan dan baru diajukan
alasan kekurangan dari perikatan itu.
Sementara itu, untuk pembatalan secara aktif, undang-undang
memeberikan pembatasan waktu yaitu lima tahun (pasal 1445 KUHPdt). Sedangkan
pembatalan untuk pembelaan tidak diadakan pembatasan waktu waktu.
9. Berlaku syarat batal
Maksud dengan syarat disini adalah ketentuan perjanjian yang
disetujui oleh kedua belah pihak, syarat manajika dipenuhi mengakibatkan
perikatan itu batal (neitig, void), sehingga perikatan menjadi hapus. Syarat
ini disebut "syarata batal". Syarat batal pada asasnya selalu berlaku
surut, yaitu sejak perikatan itu dilahirkan. Perikatan yang batal dipulihkan
dalam keadaan semula seolah-olah tidak pernah terjadi perikatan.
10. Lampau waktu
(daluarsa)
Menurut ketentuan pasal 1956 BW,
"lampau waktu adalah alat untuk memperoleh sesuatu (acquissitieve
verjaring) atau untuk dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya suatu
waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang"
(extintieve verjaring).
BAB V
Hukum Perjanjian
2.1 Definisi
Hukum Perjanjian
Istilah
Perjanjian terkadang digunakan bersamaan dengan istilah lainnya seperti
kontrak. . Istilah perjanjian ini, terumus dalam bahasa Belanda dengan istilah overeenkomst, yang biasanya
diterjemahkan dengan perjanjian dan atau persetujuan. Kata
perjanjian menunjukkan adanya makna, bahwa para pihak dalam perjanjian yang
akan diadakan telah sepakat tentang apa yang mereka sepakati berupa janji-janji
yang diperjanjikan. Sementara itu, kata persetujuan menunjukkan makna bahwa
para pihak dalam suatu perjanjian tersebut juga sama-sama setuju tentang segala
sesuatu yang mereka perjanjikan. Artinya terjemahan istilah tersebut dapat
dikatakan sama, terkadang bahkan
digunakan bersamaan, hal ini disebabkan antara keduanya ditafsirkan sama,
karena perjanjian itu sendiri sebenar juga adalah persetujuan.
Banyak para ahli yang
mengemukakan pengertian dari perjanjian dan kontrak. Tetapi dari semua yang
dikemukakan dapat disimpulkan bahwa kedua istilah dan pengertian tersebut pada
prinsipnya tidak jauh berbeda, dikatakan demikian, karena pengertian perjanjian
dan kontrak dimaksud dilahirkan karena adanya kesepakatan dan pada akhirnya
menimbulkan suatu perjanjian dan melahirkan hubungan hukum atau perikatan.
Dalam konsep hukum perdata, bahwa perikatan sebagaimana dimaksudkan di atas,
tidak saja dilahirkan karena adanya suatu perjanjian dan atau kontrak, tetapi
juga disebabkan karena undang-undang menyatakan bahwa suatu peristiwa dan atau
perbuatan seseorang tanpa didahului adanya perjanjian/kontrak telah melahirkan
hubungan hukum atau perikatan. Seperti adanya perbuatan melawan hukum atau
melanggar hokum yang dinyatakan oleh undang-undang telah melahirkan hubungan
hukum atau perikatan (Pasal 1365 dan 1367). Artinya orang yang melanggar hukum
tersebut terikat untuk menanggung beban kerugian akibat kesalahannya.
2.2 Pengaturan
Mengenai Perjanjian
Peraturan
yang dijadikan sebagai dasar hukum perjanjian adalah KUHPerdata Buku III Bab II yang berjudul “Perikatan-perikatan
yang Dilahirkan dari Kontrak atau Perjanjian”. Secara sistematis pengaturan
mengenai perjanjian dalam KUHPerdata ini terdiri dari empat bagian, yakni dari Pasal 1313 – 1351 KUHPerdata, yang
terdiri dari :
I.
Bagian Kesatu yang mengatur tentang ketentuan umum (Pasal
1313 – 1319 KUHPerdata)
II.
Bagian Kedua yang mengatur tentang syarat-syarat sahnya suatu
perjanjian (Pasal 1320 – 1337 KUHPerdata)
III.
Bagian Ketiga yang mengatur tentang akibat-akibat dari
perjanjian (Pasal 1338 – 1341 KUHPerdata)
IV.
Bagian Keempat yang mengatur tentang penafsiran
perjanjian-perjanjian (Pasal 1342 – 1351 KUHPerdata)
Selain itu, terdapat beberapa ketentuan tambahan
mengenai pengaturan perjanjian, yakni :
Pasal 1266 dan 1267 Bab I Buku III KUHPerdata yaitu
tentang perikatan-perikatan bersyarat yang merupakan syarat-syarat putus yakni
wanprestasi.
Pasal 1446 – 1456 KUHPerdata tentang kebatalan dan
pembatalan
Dengan demikian antara
perikatan dengan perjanjian mempunyai hubungan yang sangat erat sekali. Hal itu
dikarenakan mengenai perjanjian ini diatur dalam Buku III KUHPerdata yang
mengatur tentang Perikatan, dimana pengertian perikatan itu sendiri tidak
ditegaskan pada salah satu pasalpun. Mengenai hubungan yang erat antara perjanjian
dengan perikatan ini dapat dilihat pada Pasal 1233 yang menyatakan : “Tiap-tiap
perikatan dilahirkan baik karena perjanjian, baik karena Undang-undang”. Hal
ini berarti, perjanjian melahirkan perikatan, demikian juga halnya dengan
undang-undang yang menentukan lahirnya perikatan.
2.3 Subjek dan
Objek Kontrak/Perjanjian
Dalam
suatu perjanjian terdapat pihak-pihak yang mengadakan atau melaksanakan
perjanjian dan juga terikat dengan perjanjian tersebut. Pihak itulah yang biasa
disebut dengan subjek perjanjian. Menurut Abdul Kadir Muhammad, subjek
perjanjian dapat berupa :
a. Manusia pribadi (Natuurlijk Persoon)
b. Badan hukum (Recht persoon)
Jadi, dapat dikatakan bahwa
setiap subjek hukum dapat menjadi subjek dalam perjanjian, dan setiap subjek
perjanjian harus mampu dan wenang melakukan perbuatan hukum seperti yang
ditetapkan dalam Undang-undang.
Sementara itu, suatu perjanjian harus mempunyai objek
yang akan diperjanjikan. Ketentuan dalam Pasal 1320 KUHPerdata menyatakan bahwa
salah satu syarat sahnya suatu perjanjian adalah adanya hal tertentu. Ada hal
tertentu inilah yang disebut dengan objek perjanjian atau pokok perjanjian.
Objek perjanjian dapat berupa benda ataupun berupa prestasi tertentu, yakni
berupa benda berwujud atau benda tidak berwujud bisa juga berupa benda yang ada
atau benda yang akan ada.
2.4 Unsur-unsur
Perjanjian
Dalam
suatu perjanjian, terdapat unsur-unsur sebagai berikut, antara lain :
a. Para pihak yang
sedikit-dikitnya dua orang,
Pihak-pihak inilah yang
disebut dengan sebagai subjek perjanjian.
b. Ada persetujuan antara
pihak-pihak itu.
Persetujuan disini bersifat
tetap, bukan sedang dalam tahap berunding. Persetujuan tersebut ditujukan
dengan penerimaan tanpa syarat atas suatu tawaran, mengenai syarat-syarat dan
mengenai objek perjanjian.
c. Ada tujuan yang akan dicapai
dengan diadakannya perjanjian.
Tujuan tersebut yaitu untuk
memenuhi kebutuhan para pihak dalam perjanjian, dimana tujuan tersebut sifatnya
tidak dilarang oleh undang-undang dan juga tidak boleh bertentangan dengan ketertiban
umum dan kesusilaan.
d. Ada prestasi yang akan
dilaksanakan.
Prestasi adalah kewajiban yang akan dipenuhi
oleh pihak-pihak sesuai dengan syarat-syarat yang diperjanjikan. Pada sistem
hukum Anglo Saxon istilah prestasi
ini biasa disebut dengan “considerans”.
Dimana dengan adanya persetujuan maka akan timbul kewajiban untuk melaksanakan
suatu prestasi oleh para pihak dalam perjanjian.
e. Adanya bentuk tertentu.
Bentuk disini perlu ditentukan, karena ada
ketentuan Undang-undang yang menyatakan bahwa hanya dengan bentuk tertentu
suatu perjanjian mempunyai kekuatan mengikat dan kekuatan bukti.
f. Ada syarat-syarat tertentu
Syarat-syarat tertentu ini
merupakan isi perjanjian, yang mana dari syarat-syarat itu dapat diketahui hak
dan kewajiban para pihak. Syarat disini ada yang berupa syarat pokok dan ada
pula yang berupa syarat tambahan.
2.5 Asas-Asas
Dalam Perjanjian
Dalam Hukum Perjanjian dikenal beberapa asas. Asas-asas tersebut
diantaranya adalah :
1) Asas Kebebasan Berkontrak
Asas kebebasan berkontrak maksudnya adalah
bahwa setiap orang bebas mengadakan perjanjian apa saja baik sudah ataupun
belum diatur oleh Undang-undang, bebas untuk tidak mengadakan perjanjian, bebas
untuk mengadakan perjanjian dengan siapa pun dan juga bebas untuk menentukan
isi, syarat dan luasnya perjanjian. Kebebasan dalam asas ini asalkan tidak
melanggar ketentuan Undang-Undang, tidak melanggar kepentingan umum dan
kesusilaan. Sebagaimana yang ditegaskan dalam Pasal 1337 KUHPerdata .
Pembatasan ini diberikan sebagai akibat dari :
a. Perkembangan masyarakat,
dimana dengan perkembangan ekonomi membuat orang-orang menggabungkan diri dalam
bentuk usaha bersama atau membentuk usaha swasta.
b. Adanya campur tangan
pemerintah untuk melindungi kepentingan umum.
c. Adanya aliran masyarakat
yang bersifat social ekonomi.
2) Asas Konsensualisme
Asas konsensualisme
maksudnya adalah bahwa pada asasnya suatu perjanjian atau perikatan yang timbul
atau lahir adalah sejak detik tercapainya sepakat mengenai hal-hal pokok dan tidak diperlukan suatu
formalitas. Ini berarti bahwa perjanjian
itu lahir sejak kata sepakat telah tercapai, walaupun dalam pelaksanaannya
Undang-undang menetapkan tetap adanya suatu formalitas tertentu. Misalnya
adanya keharusan menuangkan perjanjian kedalam bentuk tertulis atau dengan akta
notaris. Sedangkan guna perjanjian dituangkan dalam bentuk tertulis yaitu
adalah dalam hal sebagai alat bukti.
3) Asas Kepatutan
Asas ini berkaitan dengan
ketentuan mengenai isi perjanjian. Pengaturan asas ini ditegaskan dalam Pasal
1339 KUHPerdata, yakni :
Perjanjian-perjanjian tidak
hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan didalamnya, tetapi
juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat persetujuan, diharuskan oleh
kepatutan, kebiasaan atau Undang-undang”. Menurut Prof.Dr. Mariam Darus
Badrulzaman, asas kepatutan ini menentukan ukuran mengenai hubungan yang
ditentukan juga oleh rasa keadilan dalam masyarakat.
4) Asas Kekuatan Mengikat
Asas ini dinyatakan secara
tegas dalam Pasal 1338 Ayat (1) KUHPerdata yang berbunyi : “Semua perjanjian
yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang
membuatnya”. Hal tersebut berarti bahwa para pihak mempunyai keterikatan pada
perjanjian yang mereka buat.
5) Asas Keseimbangan
Asas keseimbangan
menghendaki kedua belah pihak memenuhi dan melaksanakan perjanjian yang telah
mereka buat dan mereka sepakati. Dimana masing-masing pihak harus memenuhi
prestasi yang telah disepakati bersama dengan itikad baik, sehingga tercipta
keseimbangan antara kedua belah pihak dalam perjanjian tersebut.
6) Asas Kepastian Hukum
Perjanjian sebagai suatu
bentuk produk hukum hendaklah mengandung kepastian hukum. Dalam menciptakan
kepastian hukum bagi kedua belah pihak, maka perjanjian itu haruslah mempunyai
kekuatan mengikat layaknya sebagai Undang-undang bagi para pihak yang
mengadakan perjanjian tersebut.
7) Bersifat Obligatoir
Maksudnya adalah bahwa
perjanjian yang dibuat oleh para pihak itu baru dalam tahap menimbulkan hak dan
kewajiban, belum sampai pada tahap memindahkan hak milik. Hak milik baru akan
berpindah jika telah diperjanjikan tersendiri, hal ini biasanya disebut dengan
perjanjian yang bersifat kebendaan.
8) Bersifat Pelengkap
Bersifat pelengkap maksudnya
yaitu pasal-pasal dalam Undang-undang boleh disingkirkan apabila para pihak
dalam perjanjian menghendakinya, dan mereka sepakat membuat ketentuan sendiri.
Tapi jika mereka tidak menentukan mengenai hal tersebut maka ketentuan dalam
Undang-undang tetap berlaku.. Buku Ketiga KUHPerdata pada Pasal 1338-1341
mengatur mengenai akibat dari perjanjian, antara lain sebagai berikut :
a. Berlaku sebagai
Undang-Undang
Dasar hukumbahwa perjanjian berlaku
sebagai Undang-undang adalah Pasal 1338 Ayat (1) KUHPerdata. Sehingga, jika ada
salah satu pihak dalam perjanjian yang melanggar perjanjian itu, maka ia
dianggap telah melanggar Undang-undang. Terhadap pelanggaran yang dilakukan
akan menimbulkan akibat hukum tertentu yaitu berupa pemberian sanksi. Hukuman
bagi yang melanggar perjanjian ditetapkan oleh hakim berdasarkan Undang-undang
atau berdasarkan permintaan pihak lainnya. Adapun bentuk sanksi yang diberikan
dapat berupa:
1) Membayar ganti kerugian
(Pasal 1234 KUHPerdata)
2) Perjanjian dapat diputuskan
(Pasal 1266 KUHPerdata)
3) Menanggung beban resiko
(Pasal 1237 Ayat (2) KUHPerdata)
4) Membayar biaya perkara jika
sampai dibawa kehadapan hakim pengadilan (Pasal 181 Ayat (1) HIR).
b. Tidak dapat ditarik kembali
Perjanjian yang telah dibuat
secara sah dan mengikat para pihak yang membuat perjanjian tidak dapat ditarik
kembali secara sepihak. Akan tetapi perjanjian tersebut dapat saja ditarik
kembali apabila:
─
Memperoleh persetujuan dari pihak lainnya.
─
Adanya alasan-alasan yang cukup kuat menurut Undang-undang.
─
Alasan-alasan yang dimaksud
adalah alasan yang
terdapat dalam KUHPerdata yakni
pada Pasal 1571, 1587, 1814 dan 1817.
c .
Pelaksanaan perjanjian dengan itikad baik
Maksud dari pelaksanaan perjanjian dengan
itikad baik disini adalah sebagaimana yang diatur dalam pasal 1338 KUHPerdata
yaitu pelaksanaan perjanjian itu hendaknya berjalan dengan memperhatikan
norma-norma kepatutan, kesusilaan serta Undang-undang, yakni menyangkut
nilai-nilai yang patut, pantas, sesuai, cocok, sopan , layak dan beradab yang
ada dalam masyarakat.
2.6 Syarat-syarat
Sahnya Perjanjian
Perjanjian yang sah adalah
perjanjian yang memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan oleh undang-undang.
Menurut ketentuan yang terdapat dalam Pasal 1320 KUHPerdata, syarat-syarat sah
tersebut antara lain:
1. Adanya
persetujuan kehendak antara para pihak yang membuat perjanjian;
2. Adanya
kecakapan para pihak untuk membuat perjanjian;
3. Ada suatu hal
tertentu;
4. Ada suatu
sebab yang halal.
Syarat pertama dan kedua di atas disebut syarat subjektif, karena melekat pada
diri orang yang menjadi subjek
perjanjian. Jika syarat ini tidak dipenuhi, perjanjian dapat dibatalkan . Tetapi
jika tidak dimintakan pembatalan kepada
Hakim, perjajian itu tetap mengikat pihak-pihak, walaupuin diancam pembetalan
sebelum lampau waktu lima tahun (pasal 1454 KUHPdt).
Syarat ketiga dan kempat merupakan disebut syarat
objektif, karena mengenai sesuatu yang menjadi object perjanjian. Jika syrat
ini tidak dipenuhi, perjanjian batal. Kebatalan ini dapat diketahui apabila
perjanjian tidak mencapai tujuan karena
salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya. Kemudian diperkarakan ke Muka
hakim, dan Hakim menyetakan perjanjian batal, karena tidak memenuhi syarat objektif.
karena tidak memenuhi syarat objektif.
Persetujuan Kehendak
Persetujuan kehendak adalah kesepakatan antara
pihak-pihak yang mengadakan perjanjian, dalam arti apa yang dikehendaki oleh
pihak yang satu juga dikehendaki oleh pihak yang lainnya. Persetujuan kehendak
tersebut sifatnya bebas, artinya tidak ada paksaan, tekanan dari pihak manapun,
betul-betul atas kemauan sukarela pihak-pihak. Dalam persetujuan kehendak
dimaksud juga tidak ada kekilafan dan tidak ada penipuan.
Dikatakan tidak ada paksaan, apabila orang yang melakukan
perbuatan itu tidak berada dibawah ancaman, baik dengan kekerasan jasmani
maupun dengan upaya menakut-nakuti, misalnya akan membuka rahasia, sehingga
dengan demikian orang itu terpaksa menyetujui perjanjian yang akan diadakan
(Pasal 1324 KUHPerdata).
Dikatakan tidak ada kekilafan atau kekeliruan ataupun
kesesatan, apabila salah satu pihak tidak kilaf atau tidak keliru mengenai
pokok perjanjian atau sifat-sifat penting objek perjanjian atau mengenai orang
dengan siapa diadakan perjanjian itu. Menurut Pasal 1322 ayat i dan 2
KUHPerdata, kekeliruan atau kekilafan tidak mengakibatkan batal suatu
perjanjian, kecuali apabila kekeliruan atau kekilafan itu terjadi mengenai
hakekat benda yang menjadi pokok perjanjian atau mengenai sifat khusus/keahlian
khusus diri orang dengan siapa diadakan perjanjian.
Akibat Hukum tidak ada persetujuan kehendak (karena
paksaan, kehilafan, penipuan) ialah bahwa perjanjian itu dapat dimintakan
pemabatalannya kepada Hakim (vernietigbaar, voidable). Menurut ketentuan pasal
1454 KUHPdt, pembatalan dapat dimintakan dalam tenggang waktu lima tahun, dalam
hal ada paksaan dihitung sejak hari paksaan itu berhenti; dalam hal ada kehilafan dan penipuan
dihitung sejak hari diketahuinya kekhilafan dan penipuan itu.
2.7 Berakhirnya
Perjanjian
Berakhirnya suatu perjanjian memang tidak diatur secara tersendiri dalam
Undang-undang. Akan tetapi, mengenai berakhirnya perjanjian ini dapat
disimpulkan dari beberapa ketentuan yang terdapat dalam Undang-undang.
Berakhirnya persetujuan harus benar-benar dibedakan dari pada hapusnya
perikatan, karena suatu perikatan dapat hapus sedangkan persetujuannya yang
merupakan sumbernya masih tetap ada. Hal tersebut bisa ditemukan dalam
perjanjian jual beli, dimana apabila harga sudah dibayar maka perikatan mengenai
pembayaran sudah hapus, tetapi perjanjiannya belum hapus karena perjanjian
penyerahan barang belum terlaksana.
Berakhirnya perjanjian sebagai akibat dari berakhirnya semua perikatan
ini tidaklah berlaku secara mutlak, karena ada perjanjian yang menyebabkan
suatu perikatan hapus atau berakhir. Hal tersebut dapat kita temui dalam suatu
perjanjian yang berlaku surut, misalnya saja akibat dari pembatalan yang
disebabkan oleh salah satu pihak melakukan wanprestasi (Pasal 1266 KUHPerdata)
maka segala perikatan yang telah terlaksana menjadi hapus. Berkaitan dengan hapusnya perjanjian
dimaksud, dalam prakteknya disebabkan beberapa hal, antara lain :
1) Ditentukan terlebih dahulu
dalam persetujuan oleh para pihak;
Misalnya persetujuan yang
dibuat ditentukan untuk batas waktu tertentu, bila perjanjian sampai pada batas
waktu yang ditentukan, maka perjanjian akan berakhir.
2) Undang-undang menentukan
batas waktu berlakunya
Waktu tertentu tersebut
dijelaskan lagi dalam pasal 1066 ayat (4) yang berbunyi : “Persetujuan yang
sedemikian hanyalah mengikat untuk selama lima tahun, namun setelah lewatnya
tenggang waktu ini, dapatlah persetujuan itu diperbaharui”.
3) Oleh para pihak atau oleh Undang-undang
ditentukan bahwa dengan terjadinya peristiwa tertentu;
Jika salah satu pihak
meninggal dunia maka persetujuan menjadi hapus.
4) Salah atu pihak atau kedua
belah pihak memberikan pernyataan menghentikan atau mengakhiri perjanjian (opzegging);
Opzegging ini hanya ada pada persetujuan–persetujuan yang
bersifat sementara, seperti pada
perjanjian kerja dan perjanjian sewa
menyewa.
5) Adanya putusan hakim untuk mengakhiri suatu
perjanjian yang diadakan;
6)
Telah tercapainya tujuan diadakan dalam perjanjian.
BAB VI
HUKUM DAGANG
3.1 Definisi Hukum Dagang
Perdagangan atau Perniagaan pada umumnya adalah
pekerjaan membeli barang dari suatu tempat atau pada suatu waktu dan menjual
barang itu di tempat lain atau pada waktu yang berikut dengan maksud memperoleh
keuntungan.
Pada zaman yang modern ini
perdagangan adalah pemberian perantaraan antara produsen dan konsumen untuk
membelikan dan menjualkan barang-barang yang memudahkan dan memajukan pembelian
dan penjualan.
Ada beberapa macam pemberian
perantaraan kepada produsen dan konsumen :
1. Pekerjaan orang-orang perantara
sebagai makelar, komisioner, pedagang keliling dan sebagainya.
2. Pembentukan badan-badan
usaha (asosiasi), seperti perseroan terbatas (PT), perseroan firma (VOF=Fa)
Perseroan Komanditer, dsb yang tujuannya guna memajukan perdagangan.
3. Pengangkutan untuk
kepentingan lalu lintas niaga baik didarat, laut maupun udara.
4. Pertanggungan (asuransi)yang
berhubungan dengan pengangkutan, supaya si pedagang dapat menutup resiko
pengangkutan dengan asuransi.
5. Perantaraan Bankir untuk
membelanjakan perdagangan.
6. Mempergunakan surat
perniagaan (Wesel/ Cek) untuk melakukan pembayaran dengan cara yang mudah dan
untuk memperoleh kredit.
Pada pokoknya Perdagangan
mempunyai tugas untuk :
1. Membawa/ memindahkan
barang-barang dari tempat yang berlebihan (surplus) ke tempat yang
berkekurangan (minus).
2. Memindahkan barang-barang
dari produsen ke konsumen.
3. Menimbun dan menyimpan
barang-barang itu dalam masa yang berkelebihan sampai mengancam bahaya
kekurangan.
Pembagian jenis perdagangan,
yaitu :
1. Menurut pekerjaan yang
dilakukan pedagang.
a. Perdagangan mengumpulkan
(Produsen – tengkulak – pedagang besar – eksportir)
b. Perdagangan menyebutkan
(Importir – pedagang besar – pedagang menengah – konsumen)
2. Menurut jenis barang yang
diperdagangkan
a. Perdagangan barang, yang
ditujukan untuk memenuhi kebutuhan jasmani manusia (hasil pertanian,
pertambangan, pabrik)
b. Perdagangan buku, musik dan
kesenian.
c. Perdagangan uang dan
kertas-kertas berharga (bursa efek)
3. Menurut daerah, tempat
perdagangan dilakukan
a. Perdagangan dalam negeri.
b. Perdagangan luar negeri
(perdagangan internasional), meliputi :
-
Perdagangan Ekspor
-
Perdagangan Impor
c. Perdagangan meneruskan
(perdagangan transito)
Usaha Perniagaan adalah
usaha kegiatan baik yang aktif maupun pasif, termasuk juga segala sesuatu yang
menjadi perlengkapan perusahaan tertentu, yang kesemuanya dimaksudkan untuk
mencapai tujuan memperoleh keuntungan.
Usaha perniagaan itu
meliputi :
1. Benda-benda yang dapat
diraba, dilihat serta hak-hak seperti :
a. Gedung/ kantor perusahaan.
b. Perlengkapan kantor : mesin
hitung/ ATK dan alat-alat lainnya.
c. Gudang beserta barang-barang
yang disimpan didalamnya.
d. Penagihan-penagihan
e. Hutang-hutang
2. Para pelanggan
3. Rahasia-rahasia perusahaan.
Kedudukan antara kekayaan
pribadi (prive) dan kekayaan usaha perniagaan :
1. Menurut Polak dan
Molengraaff, kekayaan usaha perniagaan tidak terpisah dari kekayaan prive
pengusaha. Pendapat Polak berdasarkan Ps 1131 dan 1132 KUHS
Ps 1131 : Seluruh harta kekayaan baik harta bergerak dan harta tetap dari
seorang debitur, merupakan tanggungan bagi perikatan-perikatan pribadi.
Ps 1132 : Barang-barang itu merupakan tanggungan bersama bagi semua
kreditur.
2. Menurut Prof. Sukardono,
sesuai Ps 6 ayat 1 KUHD tentang keharusan pembukuan yang dibebankan kepada
setiap pengusaha yakni keharusan mngadakan catatan mengenai keadaan kekayaan
pengusaha, baik kekayaan perusahaannya maupun kekayaan pribadinya.
3.2 Sumber Hukum Dagang
Hukum Dagang di Indonesia
bersumber pada :
1. Hukum tertulis yang
dikodifikasikan
a. KUHD
b. KUHS
2. Hukum tertulis yang belum dikodifikasikan
yaitu peraturan perundang-undangan khusus yang mengatur tentang hal-hal yang
berhubungan dengan perdagangan.
KUHD mulai berlaku di
Indonesia pada tanggal 1 Mei 1848 berdasarkan asas konkordansi.
Menurut Prof. Subekti SH,
adanya KUHD disamping KUHS sekrang ini tidak pada tempatnya, karena KUHD tidak
lain adalah KUHPerdata. Dan perkataan “dagang” bukan suatu pengertian hukum
melainkan suatu pengertian perekonomian.
Dinegeri Belnda sudah ada
aliran yang bertujuan menghapuskan pemisahan antara hukum perdata dengan hukum
dagang.
3.3 Asas-Asas Hukum Dagang
Pengertian Dagang (dalam
arti ekonomi), yaitu segala perbuatan perantara antara produsen dan konsumen.
Pengertian Perusahaan, yaitu
seorang yang bertindak keluar untuk mencari keuntungan dengan suatu cara dimana
yang bersangkutan menurut imbangannya lebih banyak menggunakan modal dari pada
menggunakan tenaganya sendiri.
Pentingnya pengertian
perusahaan :
1. Kewajiban “memegang buku”
tentang perusahaan yang bersangkutan.
2. Perseroan Firma selalu
melakukan Perusahaan.
3. Pada umumnya suatu akte
dibawah tangan yang berisi pengakuan dari suatu pihak, hanya mempunyai kekuatan
pembuktian jika ditulis sendiri oleh si berhutang atau dibubuhi tanda
persetujuan yang menyebutkan jumlah uang pinjaman, tapi peraturan ini tidak
berlaku terhadap hutang-hutang perusahaan.
4. Barang siapa melakukan suatu
Perusahaan adalah seorang “pedagang” dalam pengertian KUHD
5. Siapa saja yang melakukan
suatu Perusahaan diwajibkan, apabila diminta, memperlihatkan buku-bukunya
kepada pegawai jawatan pajak.
6. Suatu putusan hakim dapat
dijalankan dengan paksaan badan terhadap tiap orang yang telah menanda tangani
surat wesel/ cek, tapi terhadap seorang yang menandatangani surat order atau
surat dagang lainnya, paksaan badan hanya diperbolehkan jika suart-surat itu
mengenai perusahaannya.
3.4 Sumber Hukum Dagang
1. Pokok : KUHS, Buku III
tentang Perikatan.
2. Kebiasaan
a. Ps 1339 KUHS : Suatu
perjanjian tidak saja mengikat untuk apa yang semata-mata telah diperjanjikan
tetapi untuk apa yang sudah menjadi kebiasaan
b. Ps 1347 KUHS : hal-hal yang
sudah lazim diperjanjikan dalam suatu perjanjian, meskipun tidak secara tegas
diperjanjikan harus dianggap juga tercantum dalam setiap perjanjian semacam
itu.
3. Yurisprudensi
4. Traktat
5. Doktrin
Pentingan suatu Perusahaan
memegang buku (Ps 6 KUHD)
1. Sebagai catatan mengenai :
a. Keadaan kekayaan perusahaan
itu sendiri – berkaitan dengan keharusan menanggung hutang piutang
b. Segala hal ihwal mengenai
perusahaan itu.
2. Dari sudut hukum pembuktian
(Ps 7 KUHD Jo Ps 1881 KUHS), misalnya dengan adanya pembukuan yang rapi, hakim
dapat mengambil keputusan yang tepat jika ada persengketaan antara 2 orang
pedagang mengenai kwalitas barang yang diperjanjikan.
Orang-orang Perantara
1. Golongan I : buruh/ pekerja
dalam perusahaan: pelayan, pemegang buku, kasir, orang yang diberi kuasa untuk
menjalankan usaha dagang dalam suatu Firma (Procuratie – Houder)
2. Golongan II :
a. Makelar : seorang penaksir
dan perantara dagang yang telah disumpah yang menutup perjanjian-perjanjian
atas perintah dan atas nama orang lain dan untuk pekerjaannya itu meminta upah
(Provisi)
b. Komisioner : seorang
perantara yang berbuat atas perintah dan menerima upah, tetapi ia bertindak
atas namanya sendiri – seorang komisioner memikul tanggung jawab lebih berat
dibanding dengan perantara lainnya.
3.5 Perkumpulan-perkumpulan Dagang
1. Persekutuan (Maatschap) :
suatu bentuk kerjasama dan siatur dalam KUHS tiap anggota persekutuan hanya
dapat mengikatkan dirinya sendiri kepada orang-oranglain. Dengan lain perkataan
ia tidak dapat bertindak dengan mengatas namakan persekutuan kecuali jika ia
diberi kuasa. Karena itu persekutuan bukan suatu pribadi hukum atau badan
hukum.
2. Perseraoan Firma : suatu
bentuk perkumpulan dagang yang peraturannya terdapat dalam KUHD (Ps 16) yang
merupakan suatu perusahaan dengan memakai nama bersama. Dalam perseroan firma
tiap persero (firma) berhak melakukan pengurusan dan bertindak keluar atas nama
perseroan.
3. Perseroan Komanditer (Ps 19
KUHD) : suatu bentuk perusahaan dimana ada sebagian persero yang duduk dalam
pimpinan selaku pengurus dan ada sebagian persero yang tidak turut campur dalam
kepengurusan (komanditaris/ berdiri dibelakang layar)
4. Perseroan Terbatas (Ps 36
KUHD) : perusahaan yang modalnya terbagi atas suatu jumlah surat saham atau
sero yang lazimnya disediakan untuk orang yang hendak turut.
─ Arti kata Terbatas,
ditujukan pada tanggung jawab/ resiko para pesero/ pemegang saham, yang hanya
terbatas pada harga surat sero yang mereka ambil.
─ PT harus didirikan dngan
suatu akte notaris
─ PT bertindak keluar dengan
perantaraan pengurusnya, yang terdiri dari seorang atau beberapa orang direktur
yang diangkat oleh rapat pemegang saham.
─ PT adalah suatu badan hukum
yang mempunyai kekayaan tersendiri, terlepas dari kekayaan pada pesero atau
pengurusnya.
─ Suatu PT oleh undang-undang
dinyatakan dalam keadaan likwidasi jika para pemegang saham setuju untuk tidak
memperpanjang waktu pendiriannya dan dinyatakan hapus jika PT tesebutmenderita
rugi melebihi 75% dari jumlah modalnya.
5. Koperasi : suatu bentuk
kerjasama yang dapat dipakai dalam lapangan perdagangan
Diatur diluar
KUHD dalam berbagai peraturan :
a. Dalam Stb 1933/ 108 yang
berlaku untuk semua golongan penduduk.
b. Dalam stb 1927/91 yang
berlaku khusus untuk bangsa Indonesia
c. Dalam UU no. 79 tahun 1958
─ Keanggotaannya bersifat
sangat pribadi, jadi tidak dapat diganti/ diambil alih oleh orang lain.
─ Berasaskan gotong royong
─ Merupakan badan hukum
─ Didirikan dengan suatu akte
dan harus mendapat izin dari menteri Koperasi.
6. Badan-badan Usaha Milik
Negara (UU no 9/ 1969)
a. Berbentuk Persero : tunduk
pada KUHD (stb 1847/ 237 Jo PP No. 12/ 1969)
b. Berbentuk Perjan : tunduk
pada KUHS/ BW (stb 1927/ 419)
c. Berbentuk Perum : tunduk
pada UU no. 19 (Perpu tahun 1960)
Daftar Pustaka
Ahmad Ichsan, Hukum
Perdata IA ,
Pembimbing Masa, Jakarta ,
1969;
R.Subekti, Pokok-pokok
Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta ,
1975;
Riduan Syahrani,
Seluk-beluk
dan Azas-azas Hukum Perdata, Alumni, Bandung , 1992;
Tidak ada komentar:
Posting Komentar